Sunday, 7 March 2010

LADANGMU

Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman? [Al-Baqarah : 223]

Beberapa minggu yang lalu SMA Labschool Cinere melakukan studi tour ke Bali yang diberi nama Field Trip. Perjalanan wisata sambil belajar ini membawa suatu pengertian baru bagi penulis tentang ladang, sawah dan pertanian secara umum.

Di Bali, sistem Subak dalam mengelola sawah dan ladang adalah tradisi yang sudah diwariskan secara turun

temurun dan sudah berlangsung lama sekali, jauh sebelum pemerintah Kolonial Belanda menerapkan kebijakan Politik Etis (Politik Balas Budi).

Sebagai sistem pertanian dan persawahan, subak adalah produk lokal Bali yang terkenal dengan kearifan lokal (Local genius). Hanya saja sayang, setelah Revolusi Hijau menggejala di seluruh dunia, local genius di beberapa daerah di Indonesia, terutama dalam pengelolaan sawah menjadi tercemar oleh sentuhan tangan industri yang menggerus tanah dan pengelolaannya menjadi lebih mekanis, penuh racun kimia. Hasilnya memang lebih cepat, melimpah dan menguntungkan secara financial, hanya saja cara-cara tersebut kini mulai dirasakan sebagai pembunuhan terhadap tubuh

manusia yang memakan produk Revolusi Hijau.

Apakah Revolusi Hijau dapat diartikan sebagai implementasi dari Surat Al-Baqarah : 223, bahwa ladang di datangi dengan sesuka hati. Sesuka hati disini diartikan sebagai melakukan pengelolaan ladang dengan cara-cara industri, mekanis dan menebar racun-racun kimia. Revolusi Hijau sebagai pola pengelolaan tanah yang modern dalam proses penggarapanya menghalalkan segala cara. Sudah pasti bukan.

PERLAKUKAN LADANGMU DENGAN BAIK

Dalam tradisi pengelolaan ladang, masyarakat badui di Jawa Barat, patut mendapat acungan jempol. Mereka sangat menghargai tanah dalam proses pengolahannya. Tanah yang mereka diami, dibagi menjadi 3, yang pertama untuk pemukiman sebagai tempat tinggal, yang kedua untuk pertanian sebagai ladang mencari nafkah. Dan yang ketiga, untuk hutan lindung yang dihormati, sebagai keseimbangan agar sumber daya alam tidak habis untuk habitat manusia saja.

Pengolahan ladangnya pun terbilang ramah lingkungan, jauh dari mencemari atau merusak. Menanam padi gogo (sedikit air) dilakukan dengan menanam langsung pada tanah, tanpa terlebih dahulu dicangkul atau dibajak. Sebab menurut mereka, cangkul yang terbuat dari besi bisa menyakiti tanah dan cacing yang ada di dalamnya.

Ketika tanaman tumbuh dari hari ke hari, perawatannya pun sederhana. Hama rumput mereka cabuti satu persatu, walaupun ladang yang mereka garap kemiringannya bisa 80 derajat. Hama serangga, mereka membiarkan alam bekerja dengan sendirinya atau menyiapkan lawannya, dan membiarkan predator hama bekerja memangsa hama-hama jahat. Sebab penggunaan pestisida dalam membasmi hama akan menimbulkan masalah baru, dimana hama-hama tersebut dikemudian hari secara genetic akan lebih kebal dan lebih ganas.

Begitupun dengan pengelolaan tanah agar lebih subur bukan dengan pupuk kimia tapi dengan pupuk alami, bahkan

mereka mentradisikan tidak memiliki jamban (wc) agar kotoran yang mereka buang terurai langsung dalam tanah. Karena pupuk kimia akan menyakiti tanah dan merusak seperti tubuh manusia, bila terlalu banyak diberi zat-zat kimia terus menerus, maka tubuh manusia akan menimbun banyak penyakit. Walaupun dengan dalih mengobati, tapi zat-zat kimia dalam obat tersebut memiliki efek negatif dan sebisa mungkin diminimalisir.

ISTERIMU ADALAH LADANG

Dengan konsep dan praktek perlakuan ladang masyarakat Badui dan Bali, maka penafsiran akan Isterimu adalah ladang bagimu, sudah jelas bahwa setiap suami harus memilih pengolahan ladang dengan cara yang baik, santun, tidak menyakiti apalagi merusak. Datangi-lah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai, disini pun jangan ditafsirkan dengan pengertian memperlakukan isteri dengan semena-mena, sesuka hati, arogan, dan emosi sepihak. Tapi akan lebih baik, datangi-lah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai, ditafsirkan memperlakukan isteri dengan perasaan cinta,

penuh suka cita, hormat dan santun, sebab dengan perlakuan seperti itulah akan berimbas pada hubungan yang harmonis, tidak ada yang disakiti, saling membutuhkan dan ketergantungan satu sama lain. Dan pastinya berimbas baik pada anggota keluarga yang lain, entah itu anak, saudara, orang tua ataupun tetangga di sekitar.

TEMPAT KERJAMU ADALAH LADANG

Begitupun dengan tempat kita bekerja, entah itu yang bekerja di tempat tertutup, kantor, belakang meja ataupun yang bekerja di tempat terbuka. Dengan status atau jabatan tertentu, pada setiap levelnya. Menjadikan tempat bekerja dengan konsep dan praktek yang alami adalah pilihan yang bijak.

Kalau tempat kita mencari nafkah itu diperlakukan dengan cara-cara mekanis, kaku seperti robot, memupuknya dengan zat-zat kimia penuh racun-racun hati seperti iri hati, dengki dan menggunting dalam lipatan terhadap teman sendiri, rakus, serakah selalu mengambil yang bukan haknya seperti korupsi dan

Lain sebagainya, maka ladang tersebut pasti akan sakit dan rusak.

Jawabannya sesungguhnya kita sudah tahu, perlakukanlah ladang itu dengan kebaikan, ketulusan, sopan santun, hormat menghormati, dan bertanggung jawab, maka ladang yang kita miliki akan memiliki timbal balik yang baik pula. Tapi mengapa kita lebih sering memupuk ladang kita dengan cara jahat dan salah? Hanya hati nurani kita masing-masing yang bisa menjawabnya.

* Abdul Rojak, Penulis adalah Guru Sejarah SMA Labschool-Avicenna Cinere.

SEJARAH MANUSIA

Dalam hidup manusia, dari dulu sampai sekarang dan dimanapun ia berada, tak pernah lepas dari tiga proses yang harus dilalui. Pertama lahir, kedua menikah atau kawin, dan ketiga mati. Kelihatannya sederhana memang apabila ditinjau dari sudut fisik melulu, tapi hidup bukan sekedar fisik. Ada dunia psikis dalam jiwa kita.

Mungkin secara institusional atau kelembagaan seseorang memilih untuk tidak menikah, tapi dalam bentuk lain, pada dasarnya ia kawin, misalnya kawin dengan cita-cita, sesuatu yang lebih agung dan luhur dari kawin secara fisik, seperti Socrates, Al Ghazali, Martin Luther, Voltair, Kahlil Gibran, Albert Camus, Gandhi, Einstein dan banyak lagi (atau mungkin anda) adalah tokoh-tokoh besar yang kawin dengan ide-ide brilian. AR





No comments: