Monday, 17 March 2008

MUSHALA

“…Apakah kesadaran dan pergaulan kita dengan allah itu merupakan sesuatu yang engkau biarkan berlangsung alamiah, ataukah perlu engkau terjemahkan k dalam rancangan-rancangan budaya? Termasuk di sini, berapa watt-kah kapasitas kesadaran dan pergaulan kita dengan Allah SWT?

Itulah sebabnya, di bagian buku ini aku bercerita hotel. Pada suatu senja, bersama sejumlah kawan aku mencari mushala di sebuah hotel besar internasional di Jakarta. Kami hendak magriban bareng menjelang menghadiri pembukaan Pameran lukisan Kaligrafi di hotel tersebut.

Kami berjalan menerobos bagian-bagian bawah dari hotel itu. Kami melewati lorong-lorong panjang dan berliku-liku. Akhirnya tiba di mushola yang terletak sangat di pojok dan tersembunyi. Kalau sendiri, tak bias kujamin akau akan bias menemukannya.

Seusai shalat, aku hendak berdo’a macam-macam, yang mendadak yang bersuara dalam hatiku adalah keluhan, dan kuucapkan itu perlahan-lahan. “Ya Allah Kekaksihku, apakah Engkau merasa sepi? Engkau disembunyikan di sini, di pojok bawah. Engkau bukan sesuatu yang penting bagi rancangan dan konsep hotel yang mewah ini. Engkau tidak primer. Engkau tidak nomer satu. Engkau tidak disediakan tempat di etalase terpenting dari performance hotel ini. Ketika para arsitek membangun tempat ini, tak ada alokasi atau ingatan tentang-Mu, barangkali.”

“RUmah atau mushala-Mu ini tampaknya juga tidak sejak semula dibangun sebagai mushala. Rumah-Mu ini hanya sekedar sebuah ruangan yang dipaksakan untuk dipakai sebagai tempat shalat, karena kebetulan banyak karyawan hotel ini yang beragama islam. Ya Allah, apakah engkau merasa kesepian? Tidak. Aku tahu engkau tidak kesepian. Engkau tidak hanya bersemayam di mushala ini. Engkau bias aku jumpai dimanapun. Aku bisa menghadap-Mu di bagian manapun dari hotel itu.”

“Tetapi yang aku tangiskan adalah kenapa engkau begitu tidak dianggap penting, bahkan mungkin dianggap tidak ada, oleh mereka yang membangun dan menikmati gedung-gedung di muka bumi-Mu. Padahal tanah ini tanah-Mu. Material apapun yang dipakai untuk membangun hotel ini adalah milik-Mu. JUga semuanya, apa saja dan siapa saja yang menghuni dan berlalu lalang di gedung ini, adalah semata-mata Engkau yang ciptakan dan engkau yang menganugrahkan kepada mereka segala jenis rizqi dan kekayaan-Mu…”

Mungkin aku agak sentimental dengan keluhan semacam ini. Semestinya aku juga bias berpikir bahwa kultur hotel-hotel yang berlaku adalah memang produk dari peradaban sekuler abad ke-20. Tetapi aku juga tidak bias mengganggap bahwa budaya hotel dari kosmos industri dan kapitalisme sekuler ini tidak memiliki sentuhan religius. Karena hamper selalu bias kujumpai The Holly Bible di laci meja kamar-kamarnya.

Harus kita akui juga bahwa ada hotel-hotel yang menyediakan kitab Al-Quran serta tulisan petunjuk kiblat di atap kamar. Bahkan, kini sudah pula berdiri beberapa hotel yang segala sesuatunya dirancang untuk suatu mekanisme kehidupan yang Islami. Segala sesuatu dalam kebudayaan umat manusia memang terus berkembang ke berbagai arah. Semuanya sedang terus melakukan tawar menawar dengan ragam nilai-nilai.

Diatas semua itu aku tetap bersyukur. Meskipun di berbagai hotel berbintang, engkau jumpai mushala hanya bersifat darurat di pojok-pojok, basement, bahkan ruang-ruang bawah tanah dimana kalau kita shalat di atas terdapat slang-slang AC bersilang-silang, sehingga terasa Allah sebegitu dimarjinalkan-kuanjurkan engkau tetap bersyukur. Karena hikmah, karamah, dan maslahah disediakan oleh-NYa disegala macam tempat…”

No comments: