Thursday, 29 January 2009

SHINTIA DARDANELA

Banyak tragedy yang tragis menimpa Dardanela, menggodam dadanya habis tak kunjung henti. Perasaannya memendam rasa dan bergelora, “Oh, Shintia……”, keluhnya menghembus jiwa yang kering. Air matanya menyorotkan kesedihan, relung-relung kosong dan gorong-gorong jiwa yang benar-benar sunyi.

Suatu senja, Dardenela berjalan lusuh hanya arus angin membawanya bersama pikiran yang kacau. Di persimpangan jalan, pandangannya terantuk suatu keindahan, seorang perempuan cantik berjalan anggun mempesona seakan-akan ciptaan Dewa. Membias pikirannya secerah embun pagi berbinar kristal bagai bintang bertaburan meresap kalbunya. Seketika pikirannya kembali segar, “Shintia engkau telah menumbuhkan teratai putih di gurun hatiku”, terucap kata seperti berteriak, ‘Shintia!!!”, Dardanela memanggilnya tiga kali.

Shintia menoleh di seberang simpang empat, sedikit sekali lalu melengos berbelok ke arah yang lain. Dardanela kembali murung wajahnya terlipat kecil-kecil, jiwanya kecut nanar menatap. “Oh, Shintia…!#?”, Dardanela kembali mengeluh, menahan perih. “Tuhan telah memberikan tanda, revolusi harus di mulai”, tekadnya dalam hati setelah kejadian itu. Hatinya bergolak penuh pergolakan. Ambisinya adalah sejenis pekerjaan. Dardanela memeluk matahari, meresap maha energi, mulai pecahkan tulang kehidupan, memecah batu-batu penuh berkah dengan suka citanya. Sambil melangkah ia coba mengerti satu-persatu. Dardanela terus berjalan, menelusuri jalan lurus, saat malam memeluk bumi, meninggalkan persimpangan empat yang telah berlalu.

Tiba-tiba, “Aduh!”, Dardanela terkejut sambil mengusap keningnya yang terasa sakit. Ia baru sadar telah terbentur tiang listrik di depannya.

Gandul, 2 Desember 1995

No comments: