Thursday, 29 January 2009

TELAH BERLALU MENEMBUS AWAN


Suatu petang yang cerah, awan-awan berarak cemerlang di suatu puncak bukit dengan hamparan tanah lapang ilalang yang luas sejauh mata memandang. Di atas bukit di bawah pohon kecapi yang sedang berbuah lebat dan rindang. Duduk termenung, Dardanela. Disela bibirnya ada sebatang rumput liar. Tangan kirinya mengenggam batu-batu kerikil, sedangkan tangan kanannya terayun melempar kerikil tersebut ke tanah lapang.

Udara terhirup segar, suatu petang yag sunyi dengan suara kedamaian alam sekitarnya. Semilir angin gericik ilalang seirama bersama burung-burung berkicau terbang ke sana-ke mari. Ada buih di udara bak kapas beterbangan. Sementara Dardanela masih saja menghayati kekesalannya. “Mengapa…….?”, keluhnya beberapa kali diselingi hempasan tangan melempar kerikil.

Tiba-tiba Dardanela dikejutkan suara burung merpati bertengger di dahan pohon. Sepasang merpati berkidung cinta seperti sedang bercumbu. “Mengejek, hah..!”, dengan ketus ia memaki, lalu memungut batu yang lebih besar. “Pergi! Pergi!!!”. Sepasang merpati terkejut, mereka terbang ke arah barat, di mana matahari mulai condong ke sana. Dardanela bangkit terus memaki bernada marah sambil melempar kerikil-krikilnya dengan emosi. Terakhir kata yang terucap, “Pergi kau!” Dardanela usap wajahnya dengan telapak tangan kiri, sambil menghela napas, lepaskan semua ketegangan. Ia duduk kembali kemudian rebahkan diri, matanya menerawang jauh menembus awan, mencoba mencari-cari, mereka-reka, membayangkan gadis impiannya yang telah hilang di balik awan, “Shintia, di mana kau?”.

Gandul, 19 Desember 1995

No comments: