Thursday, 29 January 2009

MENGAPA AKU BINTITAN


Malam terasa sunyi dalam kamarku yang berukuran 3 X 3 m. Hanya detak-detik jarum jam dinding kamarku yang berbunyi. Udara begitu lembab dan hening, tak terdengar satu pun suara serangga berderik, yang biasanya riuh silih berganti, bila bukan cicak, jangkrik atau bila bukan jangkrik, kodok begitu sebaliknya.

Usai shalat malam 5 rakaat, 3 salam, aku kembali rebahkan diri. Ku matikan lampu kamar, terlelaplah aku di alam gelap.

Tiba-tiba membentang di hadapanku suatu genangan air, sungai yang lebar, tenang, panjang, sejauh mata memandang, langit begitu kelabu. Tapi aku tidak peduli, aku berjalan perlahan menyusuri sungai terus sampai ke hulu. Di hadapan ku kini terpampang pemandangan yang begitu indah, sebuah air terjun dengan telaga bersih berbias warna pelangi akibat percikan air terjun.

Ketika asyik melihat pemandangan air terjub itu, mataku dikejutkan sesuatu yang lebih indah. Ternyata dalam telaga tersebut, aku melihat dengan jelas, tujuh bidadari tanpa busana sedang asyik mandi sambil bergurau. Ku tegasi pandangan, semakin yakin aku bahwa mereka adalah bidadari. Tiba-tiba dari balik akar pepohonan tempatku mengintip, muncul sosok manusia bersayap seperti burung, memergoki dan menghadang dengan tombak bermata satu siap menusuk mata sebelah kiriku.

Aku terkejut, dan terdengar di telinga suara adzan menyerukan, ashollatukhoiruminnannaum…, suaranya terdengar pelan tapi jelas di telingaku. “Astagfirullah al adzim, celakalah aku!”. Segera aku ambil air wudhu, membenahi diri untuk segera shalat shubuh. Di depan cermin aku menyisiri rambutku yang basah. Aku dekati cermin lebih dekat, ternyata mata sebelah kiri ku membengkak merah. “Oh, Mimpi itu,,,”, aku mengeluh tak habis piker.

Gandul, 16 Maret 1996

TELAH BERLALU MENEMBUS AWAN


Suatu petang yang cerah, awan-awan berarak cemerlang di suatu puncak bukit dengan hamparan tanah lapang ilalang yang luas sejauh mata memandang. Di atas bukit di bawah pohon kecapi yang sedang berbuah lebat dan rindang. Duduk termenung, Dardanela. Disela bibirnya ada sebatang rumput liar. Tangan kirinya mengenggam batu-batu kerikil, sedangkan tangan kanannya terayun melempar kerikil tersebut ke tanah lapang.

Udara terhirup segar, suatu petang yag sunyi dengan suara kedamaian alam sekitarnya. Semilir angin gericik ilalang seirama bersama burung-burung berkicau terbang ke sana-ke mari. Ada buih di udara bak kapas beterbangan. Sementara Dardanela masih saja menghayati kekesalannya. “Mengapa…….?”, keluhnya beberapa kali diselingi hempasan tangan melempar kerikil.

Tiba-tiba Dardanela dikejutkan suara burung merpati bertengger di dahan pohon. Sepasang merpati berkidung cinta seperti sedang bercumbu. “Mengejek, hah..!”, dengan ketus ia memaki, lalu memungut batu yang lebih besar. “Pergi! Pergi!!!”. Sepasang merpati terkejut, mereka terbang ke arah barat, di mana matahari mulai condong ke sana. Dardanela bangkit terus memaki bernada marah sambil melempar kerikil-krikilnya dengan emosi. Terakhir kata yang terucap, “Pergi kau!” Dardanela usap wajahnya dengan telapak tangan kiri, sambil menghela napas, lepaskan semua ketegangan. Ia duduk kembali kemudian rebahkan diri, matanya menerawang jauh menembus awan, mencoba mencari-cari, mereka-reka, membayangkan gadis impiannya yang telah hilang di balik awan, “Shintia, di mana kau?”.

Gandul, 19 Desember 1995

SHINTIA DARDANELA


Banyak tragedy yang tragis menimpa Dardanela, menggodam dadanya habis tak kunjung henti. Perasaannya memendam rasa dan bergelora, “Oh, Shintia……”, keluhnya menghembus jiwa yang kering. Air matanya menyorotkan kesedihan, relung-relung kosong dan gorong-gorong jiwa yang benar-benar sunyi.

Suatu senja, Dardenela berjalan lusuh hanya arus angin membawanya bersama pikiran yang kacau. Di persimpangan jalan, pandangannya terantuk suatu keindahan, seorang perempuan cantik berjalan anggun mempesona seakan-akan ciptaan Dewa. Membias pikirannya secerah embun pagi berbinar kristal bagai bintang bertaburan meresap kalbunya. Seketika pikirannya kembali segar, “Shintia engkau telah menumbuhkan teratai putih di gurun hatiku”, terucap kata seperti berteriak, ‘Shintia!!!”, Dardanela memanggilnya tiga kali.

Shintia menoleh di seberang simpang empat, sedikit sekali lalu melengos berbelok ke arah yang lain. Dardanela kembali murung wajahnya terlipat kecil-kecil, jiwanya kecut nanar menatap. “Oh, Shintia…!#?”, Dardanela kembali mengeluh, menahan perih. “Tuhan telah memberikan tanda, revolusi harus di mulai”, tekadnya dalam hati setelah kejadian itu. Hatinya bergolak penuh pergolakan. Ambisinya adalah sejenis pekerjaan. Dardanela memeluk matahari, meresap maha energi, mulai pecahkan tulang kehidupan, memecah batu-batu penuh berkah dengan suka citanya. Sambil melangkah ia coba mengerti satu-persatu. Dardanela terus berjalan, menelusuri jalan lurus, saat malam memeluk bumi, meninggalkan persimpangan empat yang telah berlalu.

Tiba-tiba, “Aduh!”, Dardanela terkejut sambil mengusap keningnya yang terasa sakit. Ia baru sadar telah terbentur tiang listrik di depannya.

Gandul, 2 Desember 1995

SHINTIA DARDANELA

Banyak tragedy yang tragis menimpa Dardanela, menggodam dadanya habis tak kunjung henti. Perasaannya memendam rasa dan bergelora, “Oh, Shintia……”, keluhnya menghembus jiwa yang kering. Air matanya menyorotkan kesedihan, relung-relung kosong dan gorong-gorong jiwa yang benar-benar sunyi.

Suatu senja, Dardenela berjalan lusuh hanya arus angin membawanya bersama pikiran yang kacau. Di persimpangan jalan, pandangannya terantuk suatu keindahan, seorang perempuan cantik berjalan anggun mempesona seakan-akan ciptaan Dewa. Membias pikirannya secerah embun pagi berbinar kristal bagai bintang bertaburan meresap kalbunya. Seketika pikirannya kembali segar, “Shintia engkau telah menumbuhkan teratai putih di gurun hatiku”, terucap kata seperti berteriak, ‘Shintia!!!”, Dardanela memanggilnya tiga kali.

Shintia menoleh di seberang simpang empat, sedikit sekali lalu melengos berbelok ke arah yang lain. Dardanela kembali murung wajahnya terlipat kecil-kecil, jiwanya kecut nanar menatap. “Oh, Shintia…!#?”, Dardanela kembali mengeluh, menahan perih. “Tuhan telah memberikan tanda, revolusi harus di mulai”, tekadnya dalam hati setelah kejadian itu. Hatinya bergolak penuh pergolakan. Ambisinya adalah sejenis pekerjaan. Dardanela memeluk matahari, meresap maha energi, mulai pecahkan tulang kehidupan, memecah batu-batu penuh berkah dengan suka citanya. Sambil melangkah ia coba mengerti satu-persatu. Dardanela terus berjalan, menelusuri jalan lurus, saat malam memeluk bumi, meninggalkan persimpangan empat yang telah berlalu.

Tiba-tiba, “Aduh!”, Dardanela terkejut sambil mengusap keningnya yang terasa sakit. Ia baru sadar telah terbentur tiang listrik di depannya.

Gandul, 2 Desember 1995

Wednesday, 21 January 2009

KEGAGALAN SELURUH ISME


Hari ini globalisasi telah runtuh,
gagal,
dalam ada dan tiadanya.
krisis global menggerogoti induknya
dan akan menyebar terus sampai nusantara
aku resah, gelisah
bagaimana isme-isme satu-satu berguguran

komunisme hancur
luluh lantak.
nasionalisme selalu tersobek-sobek sejak dulu

lalu, bagaimana dengan isme seluruh agama
yang ada di dunia.

Merekapun gagal
hanya segelintir orang yang berhasil menuju
cita-cita agama yang ada di dunia

tentang kebahagiaan
tentang kesejahteraan
tentang janji surga dan kenikmatan

hanya segelintir orang yang bisa menggapainya
sebagian besar gagal meraihnya

piramida itu benar-benar meruncing
dan hanya sedikit orang yang bisa bahagia

lalu kenapa lebih banyak orang yang menderita
dibawah piramida tersebut.

hanya ada satu jawaban
kita harus membayangkan bahwa sisifus berbahagia,
bahkan dalam kesia-siaannya dan penderitaannya.

Monday, 12 January 2009

Ingatan Sekilas


Indonesia pernah menjadi negara budak, dijajah oleh bangsanya sendiri, negeri-negeri maju, dan bangsa-bangsa kapitalis. Tapi kini Indonesia, negara yang hebat, kaya, makmur dan sejahtera. Bangsanya sangat disiplin luar biasa, sungai-sungai yang dulu kotor coklat sampai kehitam-hitaman kini bersih, ikan-ikan bisa ilihat dari atas sedang mandi dan berenang. Kiblat mode dunia adalah Indonesia, dari mode pakaian, tayangan televisi, iklan sampai cerita kartun indonesia jadi patokan yang up to date. Dulu CNN jadi kiblat berita dunia tapi sekarang TVRI adalah sumber segalanya berita di dunia. BBC radio pernah merajai suara berita dunia kini RRI adalah pusat. Kartun Jepang dulu pernah digandrungi oleh anak-anak Indonesia sekarang kartun Si Unyil jadi jiburan seluruh dunia, bahkan Si Unyil jadi duta Indonesia saking populernya. TNI kita kini adalah nomer satu yang terkuat, terhebat dan benar-benar terlatih diseluruh dunia, gak ada yang bisa sembarangan masuk ke indonesia tanpa izin yang jelas. Bahkan negara Timor yang dulu merdeka, mengemis-ngemis pada Indonesia untuk menjadi Propinsi Indonesia kembali. bukan hanya itu saja, sebagian wilayah di Australia, Papua Nugini, Sabah-Malaysia kini sedang bergolak, menuntut reverendum pada pada pemerintahnya agar bisa menentukan pilihannya sendiri, bergabung dengan indonesia atau merdeka. Tak ada yang bisa menandingi Indonesia sekarang, negara yang kaya, maju, kuat, bahkan Indonesia telah mempersiapkan sejuta skenario agar Indonesia tetap berjaya dan hebat, di dalam negeri maupun luar negeri.
Hidup Indonesia!